Umat Islam Harus Memenuhi Tantangan Demokrasi

Pernahkah kita mendengar ataupun membaca seseorang yang menyatakan demokrasi itu kufur? Demokrasi adalah produk barat? dsb. Pernahkah? Insya Allah sebagian besar pasti pernah mendengar hal tersebut. Apalagi di dunia maya ini, komentar-komentar sejenis mungkin sangat banyak, dan mungkin terlalu pedas hingga tidak lagi berbuah komentar, tetapi celaan, cacian bahkan hujatan yang kental dengan nuansa tendensiusnya.

Kurang dari beberapa minggu kita nanti akan melakukan Pemilu yang diselenggarakan oleh Pemerintahan Indonesia. Dan “pesta demokrasi” pun dimulai. Dengan itupula komentar-komentar pembela dan penghujat demokrasi bertebaran. Saling serang sana-sini, saling lempar pernyataan dan klaim sepihak. Dan ini sebagian besar dilakukan oleh kalangan umat Islam sendiri.


Demokrasi menantang umat Islam untuk bertanding! Bagi yang tidak ingin bertanding sebaiknya diam dan menjadi penonton setia, dan bagi pemainnya sebaiknya tidak perlu mengikuti komentar-komentar penonton yang pada hiruk-pikuk berteriak-teriak. Pemain sudah selayaknya berkonsentrasi kepada cara pemenangan pertandingan tersebut, tentunya dengan sesuai syar’i. Tingkat ke syar’ian ini pun sering menjadi polemik, antara komentar penonton dan para pemain yang sedang bertanding.

Itulah ibarat atlit yang sedang bertanding dengan dilihat penonton yang selalu bersorak-sorai, tak lupa dengan komentar celaan, makian maupun hujatan. Itu sudah biasa!

Dan seperti halnya, Demokrasi adalah sebuah jalan sebagai prasarana yang hanya bisa dipergunakan untuk saat ini, dan partai adalah kendaraan sebagai sarana yang telah tersedia. Dengan itu kaum kafir menantang umat Islam untuk ikut serta dalam perlombaan tersebut. Walaupun prasarana yang dipakai mungkin sangat tidak layak, dan sarana yang digunakan juga tidak memungkinkan. Tetapi setiap muslim itu tidak pernah takut dengan tantangan-tantangan musuh Islam.

Sesuatu hal yang haram dan halal telah ditetapkan secara qhot’I oleh Allah dan adapula sesuatu hukum yang bersifat halal dan haram bisa juga disesuaikan dengan ijtihad para ulama. Hal ini yang tidak boleh dinafikkan. Dan inilah yang sering menjadi tolak ukur perbedaan ulama satu dengan yang lainnya. Mungkin kita perlu mengingat Peringata Allah kepada kita :

“Katakanlah: ‘Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.’ Katakanlah: ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan (kedustaan) terhadap Allah?’ Apakah dugaan orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah pada hari kiamat? Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak bersyukur.” (QS. Yūnus 59-60)

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung.” (QS. An-Nahl 116)

Sebuah ijtihad ulama tidak dapat dinyatakan mutlak kebenarannya dari ulama yang lainnya. Dengan kata lain, sesuatu yang diharamkan oleh ulama belum tentu sesuatu tersebut diharamkan oleh Allah.

Dan demokrasi itu sendiri adalah hal yang menjadi perdebatan para ulama, ada yang menyatakan halal untuk mengikuti demokrasi selama tidak meyakininya, dan ada yang mengharamkannya karena ke-tasyabuh-annya. Mungkin kita perlu mengingat pendapat seorang ulama yang menjadi banyak disepakati para ulama (al-Fakhr ar-Rāzi) “yaitu sesuatu yang bermanfaat adalah halal dan sesuatu yang mendatangkan mudharat adalah haram”. Jika demokrasi mampu mendatangkan kemaslahatan untuk kembali tegaknya khilafah Islamiah, lalu apakah itu mutlak diharamkan?

Demokrasi adalah ajang latihan para umat Islam untuk dapat mengelola sebuah Daulah atau bahkan Khilafah. Ini adalah training untuk mendapatkan kembali kejayaan Islam. Sesungguhnya mengelola sebuah daerah tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, ada banyak masalah yang harus dipecahkan, ada banyak agenda yang harus diselesaikan. Semua itu perlu latihan dengan tujuan yang jelas. Semua itu ketika umat Islam dapat memenangkan arena pertandingan ini (demokrasi).

Contoh hal yang paling mutlak, disebuah daerah mempunyai APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) ketika seandainya Allah mendatangkan kemudahannya dengan mempercepat penguasan sebuah daerah kepada umat Islam, dan ketika itu umat Islam yang berada ditempat itu belum mampu dan belum mengetahui cara pengelolaan sebuah APBD. Apakah malah bukan menjadi sebuah olokan atas system Islam yang dipakai, padahal bukan system Islamnya tetapi orang-orang Islamnya saja yang belum mampu menguasai pengelolaan sebuah daerah. Dengan ini, dengan demokrasi ini kita berlatih, kita bersiap diri untuk mendapatkan kemenangan yang dijanjikan oleh Allah.

Lalu seandainya umat Islam tidak ada yang mengikuti alur demokrasi itu sendiri, apakah mampu mereka menguasai sebuah daerah dengan legalitas yang jelas? Tentu tidak. Tentu yang mendapatkan dan menguasai sebuah daerah tersebut pasti orang-orang non Islam. Dan umat Islam hanya menjadi kacung-kacung yang hanya mampu berteriak tetapi tidak mampu bertindak apapun.

Dan seandainya saja, umat Islam memenangkan golput. Apakah dengan golput bisa menguasai sebuah daerah? Tentu tidak, pemilu bukanlah sebuah rapat yang jika tidak dihadiri quota peserta rapat menjadi tidak sah. Kemenangan golput hanya mampu menjatuhkan sebuah kredibilitas pemerintahan tetapi bukan sebuah legalitas.

Dengan demokrasi ini Umat Islam ditantang untuk menerapkan system Islamnya yang menyeluruh dan sempurna dalam berbagai bidang. Dengan penerapan ini, jelas untuk memberikan sebuah pernyataan bahwa Islam telah memberikan solusi dari berbagai hal. Mana mungkin Islam akan tegak dengan kata? Karena Rasulullah sendiri tidak hanya berkata-kata, tetapi menerapkan system syari’at Islam kedalam pemerintahannya tanpa harus berteriak-teriak “tegakkan syari’at”.

Syari’at Islam adalah hal yang pasti, namun syari’at Islam itu adalah aplikasi dari sebuah hukum. Tidaklah mungkin ketika kita memahami syari’at Islam tetapi mengkufurkan sesuatu hal yang cenderung ada nilai kebaikannya disitu! Syari’at Islam adalah implementasi dari berbagai hukum yang memberikan kemaslahatan kepada semua termasuk non Islam, tentunya dengan bersifat muamalah.

Islam ditantang untuk menerapkan syari’atnya saat berpartai. Syari’at Islam berperan penuh dalam hal ini, tentang kebebasan beragama, tentang ekonomi syari’ah, tentang pembangunan daerah yang merata dan adil serta syari’at memberikan kesejahtaraan yang mampu dirasakan oleh semua pihak, bukan hanya orang Islam. Tetapi semua umat beragama. Inilah aplikasi dari syari’at Islam. Dan inilah hal yang sudah pernah diterapkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, serta sahabat-sahabatnya.

Namun ketika kita meyakini ijtihad ulama yang lain, tentang pengharamannya demokrasi. Maka tidak boleh seorang itu menghakimi umat Islam yang lain ketika memenuhi tantangan demokrasi untuk menunjukkan kekuatan Islam. Apalagi mengecap kufur, munafiq, dll. Celaan, cacian dan hujatan adalah diharamkan oleh Allah dan Rasulullah. Demokrasi jelas tidak ada dalil qhot’I mengenai keharamannya. Jadi seseorang diharamkannya menyatakan kufur terhadap umat Islam yang sedang memenuhi tantangan demokrasi.

Seandainya benar seseorang tersebut menyatakan kufur terhadap demokrasi. Maka setiap produk demokrasi adalah kufur dan haram untuk diikuti. Inilah totalitas yang harus dipahami. Seperti halnya tidak mengikuti UU Lalu Lintas, mengikuti hukum Pidana atau Perdata ketika terkena sengketa, karena semua itu adalah produk dari demokrasi dan haram serta kufur jika mengikutinya. Namun, apakah bisa seperti itu? Tentu tidak! Apalagi haram dan kufur juga untuk meminta-minta terhadap pemimpin demokrasi atau yang biasa disebut thogut atas sebuah kebijakan ataupun masalah apapun. Ini hal yang harus menjadi konsekuensi, betapa jelas bahwa pengorbanan atas penerapan ijtihad tersebut diaplikasikan. Bukan setengah-setengah! Yah, apalagi jangan sampai kita mengharamkan demokrasi karena kalah dalam pertarungan demokrasi!

Jadi sangat jelas sekali, demokrasi bukan tujuan utama tetapi hanya menjadi “jalan” untuk tercapainya sebuah tujuan. Demokrasi adalah arena pertarungan, yang disitu banyak pemangsa-pemangsa yang siap untuk menerkam. Tetapi di demokrasi ada umat Islam yang mampu menerapkan aplikasi dari syari’at Islam. Ada kesantunan, ada kegigihan, ada pengorbanan dan ada perjuangan yang terus-menerus memberikan kontribusi tentang keikhlasan. Semua itu terangkum, dan semua itu hanya mampu dilaksanakan oleh umat Islam yang berjuang tanpa jiwa yang dengki dan iri!

Bagi umat Islam, haram hukumnya bersu’udhon kepada setiap umat Islam yang dengan ikhlas mengorbankan setiap perjuangannya untuk memikirkan kontribusi kemajuan dunia Islam dan Bangsa Indonesia ini. Jangan jadikan jiwa-jiwa pendengki, hasud dan iri menggelayuti jiwa kita. Hanya karena perbedaan prinsip cara perjuangan! Mari kita semua bersatu, merapatkan barisan dan saling berkhusnudhon terhadap setiap muslim atas setiap perjuangannya. Bukan mengklaim sepihak atas nafsu pribadi dan golongan!

http://warnaislam.com/rubrik/opini/2009/3/10/360/Umat_Islam_Harus_Memenuhi_Tantangan_Demokrasi.htm